Penundaan langsung terbukti pada penerbangan pertama. Pesawat terlambat satu jam. Walaupun kesal, setidaknya penerbangan kedua masih cukup lama. Saya teringat beberapa waktu lalu betapa sebuah maskapai penerbangan nasional sesumbar telah menjadi pahlawan karena menolak menunggu seorang anggota DPR, meskipun hanya terlambat lima menit. Saya rasa itu terlalu berlebihan, karena senyatanya tidak ada satupun maskapai kita yang terkenal tepat waktu. Penundaan sepuluh kali lebih lama dari lima menit tanpa pemberitahuan dan kompensasi itu sudah biasa. Saya sungguh sebal dengan gembar-gembornya berita tersebut.
Sewaktu transit di Jakarta, sungguh konyol harus menunggu lama turun dari pesawat karena harus menunggu tangga yang digunakan secara bergantian dengan pesawat lain. Prosedur transit kali ini juga berbeda, mungkin untuk mengantisipasi penumpukan antrian. Transit kali ini tidak terpusat, melainkan dicegat disetiap anjungan kedatangan penumpang. Ide bagus yang menjadi menyusahkan karena petugas sepertinya dadakan, tidak terampil.
Keadaan semakin kacau ketika mencapai anjungan keberangkatan. Calon penumpang tumpah ruah tertumpuk akibat keterlambatan jadwal penerbangan. Karena tidak tertampung, banyak sekali yang duduk lesehan kelelahan. Suasana menjadi jauh lebih buruk dari stasiun Senen sebagai stasiun kereta api ekonomi. Sungguh memalukan menyandang nama bandar udara internasional. Bahkan stasiun kereta api Senen lebih kreatif menjaga kenyamanan calon penumpang dengan menggelar karpet lesehan bagi penumpang yang tidak kebagian tempat duduk diruang tunggu.
Setelah mengalami keterlambatan satu jam lebih tanpa penjelasan yang memadai apalagi kompensasi, akhirnya pesawat siap, namun calon penumpang yang kelelahan diperintahkan segera berbondong-bondong pindah anjungan. Suasananya sangat mirip penumpang mengejar bis di terminal Pulogadung.
Ketidaktrampilan petugas transit yang saya sebutkan tadi benar-benar menyusahkan pada saat calon penumpang boarding. Banyak keluarga dengan anak kecil yang terpisah. Saya-pun sebelumnya juga begitu. Tiket transit bukan saya yang mengurus. Saya mengetahui agak terlambat ketika mendekati waktu boarding. Namun saya berhasil ngotot ke desk transit utama meminta pengubahan nomor tempat duduk yang semuanya terpencar. Akhirnya tempat duduk sederet berhasil didapat walaupun nomor 2 dari belakang. Mungkin penumpang lain, menggampangkan hal itu, mengharapkan pramugari akan mengaturnya diatas pesawat. Padahal setahu saya, manifest di pesawat tidak bisa begitu saja dirubah.
Suasana kacau karena yang terpencar tidak hanya satu keluarga, tapi banyak. Pramugari perlu waktu yang lama, lebih dari 30 menit untuk menyatukan keluarga-keluarga itu, setidaknya ibu dengan anaknya. Yang lebih aneh lagi, petugas transit memberi nomor tempat duduk ibu-ibu dengan balita, bahkan bayi dekat dengan pintu keluar dan pintu darurat, yang dilarang oleh aturan penerbangan. Ini merupakan syarat keselamatan penerbangan, dimana yang duduk disana diharapkan adalah orang-orang yang mampu bertindak dalam suasana darurat, atau dengan kata lain orang dewasa sendirian tanpa menggendong bayi. Lagi-lagi pramugari harus memohon-mohon menukar tempat duduk mereka dengan bapak-bapak yang bersedia.
Saat ini bentuk tiket sering berupa print-out yang berisi daftar nama orang yang akan duduk dikursi itu. Jaman dulu, ketika satu tiket untuk satu orang, ada tiket free of charge untuk bayi yang dipangku, berisi nama dan umur. Jadi dulu meskipun dipangku tetap memiliki tiket. Ini memudahkan petugas darat (yang terampil) mengatur posisi duduk penumpang, terutama yang bersama anak kecil, balita atau bayi, supaya tidak kacau dan menghambat ketepatan waktu penerbangan.
Akhirnya, terbanglah kami dengan Umbrus Airways. Oh ya, umbrus adalah bahasa Pekalongan yang artinya kacau balau, serba terburu-buru yang tidak teratur.
0 Comments
Thank you for your comment. It will appear soon.