Sebagai menu sarapan, soto ini sengaja dibuat ringan, kuah agak bening dan isi tidak terlalu banyak. Namun untuk mengatasi yang doyan makan banyak di pagi hari, maka aksesorisnya yang diperbanyak, misalnya sate ayam bacem, tempe bacem, dan si lenthok itu. Meski begitu, yang cepat habis bukan si lenthok tapi malah sate ayam bacem itu. Apalagi kalau ada uritannya, emmmm sedaaap….
Penjual soto ada yang ngetem disatu tempat, ada yang berkeliling memakai gerobak. Saya pernah makan soto lenthok yang sangat terkenal dan selalu penuh pembeli. Setelah makan, saya malah heran, karena rasanya benar-benar cuma seperti kuah ditaburi garam. Tidak enak sama sekali. Tapi kok bisa laris ya? Di Jogja memang banyak warung yang sudah telanjur terkenal tapi rasanya sangat mengecewakan. Warung-warung ini biasanya sudah generasi kesekian yang tidak menjaga rasa. Peta kuliner Jogja lawas yang wajib dikunjungi memang harus diubah dan sebagian nama warung itu dihilangkan saja.
Langganan saya sendiri adalah penjual soto keliling. Penjual soto keliling ini didominasi orang Klaten. Ya, orang Klaten memang tidak asing di lidah Jogja. Selain soto, mereka juga banyak yang menjadi pemilik angkringan. Mereka memiliki keunggulan di menu-menu manis, misalnya sate ayam bacem, telur puyuh bacem, sate usus, dan favorit saya ayam panggang areh.
Di penjual keliling ini seporsi soto seharga Rp 5,000 lengkap dengan nasi dan lenthok yang dicowel-cowel. Rasanya benar-benar segar untuk sarapan, apalagi jika memakannya sebelum mandi heheheee… Sedangkan satenya saya lupa harganya. Rasanya manis gurih, dijamin tidak bisa berhenti sebelum semua habis. Penjual keliling seperti ini sangat sabar menunggu kalau kita memakai mangkok mereka. Oh ya, jangan lupa untuk memberitahu penjualnya agar tidak memasukkan bumbu masak alias msg, karena itu adalah senjata utama kebanyakan penjual soto dan itu sangat tidak baik bagi kesehatan.
0 Comments
Thank you for your comment. It will appear soon.